Budaya masyarakat Bali tidak jauh bergerak dari interaksi dengan alam
lingkungannya. Olah pikir manusia Bali dalam memenuhi kebutuhan hidupnya lahir
batin hampir seluruhnya adalah gambaran dari paduan nalar dengan potensi alam
sekitarnya.
Membaca Pesan Alam
Soal arsitektur misalnya, hunian masyarakat Bali di pegunungan Kintamani
tentu tidak akan sama dengan perumahan masyarakat Bali di daerah dataran Gianyar maupun
di daerah pesisir Kuta kendati
iklim dan cuaca tidak jauh berbeda. Sirap bambu lebih diminati sebagai bahan
atap di daerah pegunungan Kintamani karena, selain perlindungan pada udara
dingin, sebagian pegunungan Kintamani ditumbuhi oleh tanaman bambu. Sedangkan
daerah dataran dan pesisir lebih memilih alang-alang sebagai penutup atap
karena bahan itulah yang disediakan oleh alam sekitarnya.
Tak hanya soal bangunan saja budaya manusia Bali amat beragam. Di pulau
kecil ini, perilaku manusianya memiliki ciri tersendiri dalam melakoni
kesehariannya mereka. Tatacara bicara, bahasa, dialek dan sikap berkomunikasi
amat jelas menunjukkan asal wilayahnya. Dalam perilaku melaksanakan agama dan
berkesenian pun tampak warna-warna lokal yang amat menonjol dari masing-masing
wilayah di Bali.
Desa Kala Patra, tempat waktu dan keadaan, tiga unsur inilah yang akhirnya
terlihat sebagai unsur pembentuk beragamnya perilaku manusia Bali dalam
menjalani kesehariannya. Walaupun kemasan budaya manusia Bali tampak memiliki
ciri khas masing-masing wilayah namun tujuannya terpusat ke satu arah, yaitu
persembahan. Dalam bait sastra pun mereka menemukan pembenaran atas perbedaan
yang memiliki satu tujuan.
Keseharian Manusia Bali
Masyarakat Bali, khususnya pemeluk agama Hindu adalah masyarakat yang unik.
Semakin unik perilaku itu bila teropong lebih diarahkan pada sikap manusia Bali
di era kini. Seolah biasa, seorang gadis Bali menari dengan gemulai dan nanti
di Banjar atau Pura, bahkan di sebuah hotel, padahal sore sebelumnya dia
bekerja sebagai pekerja biasa misalnya pedagang atau melakoni pekerjaan
lainnya.
Perilaku seperti itu tampak seperti sosok yang memiliki dua kepribadian
namun sebenarnya penduduk Bali lebih memandang hal itu sebagai lakon dalam
menjalani keseharian, sebagai usaha dalam membangun karma. Karenanya amat
mungkin seorang wanita pedagang yang “tak berarti” di tengah kerumunan pasar,
sesaat kemudian akan menjadi pusat perhatian sebagai penari Rejang saat persembahan
dalam suatu upacara di pura.
Bila ditelusuri perilaku
demikian amat mungkin terjadi karena tatanan atau struktur masyarakat Hindu
Bali. Tidak hanya pola pelapisan masyarakat warisan Majapahit saja yang dianut
secara penuh namun adapt istiadat setempat pun memberi warna pada penataan
masyarakat Bali. Inilah yang menyebabkan sering ditemukan tatanan yang berbeda
dari satu desa dengan desa yang lainnya namun memiliki keterikatan sama dalam
satu model tatanan Desa Adat.
Arsitektur Bali

Lebih khusus lagi Arsitektur Tradisional Bali tidak saja menganut pakem
seni, teknis dan rasa ruang namun didalamnya terkandung pula tatanan filosofi
adat dan agama Hindu. Prosesi mengolah bahan bangunan misalnya kayu yang
berasal dari pohon tertentu sampai menjadi elemen bangunan merupakan
tahap-tahap yang mesti dilakoni dengan nilai filosofi, adat dan agama. Pohon
dengan ketinggian tertentu yang saat ditebang menimpa sungai, misalnya, tidak
bisa dipergunakan sebagal bahan bangunan karena akan menimbulkan akibat buruk
baik pemakainya. Aturan adat dan agama seperti ini pada hakekatnya adalah untuk
memberi perlindungan terhadap alam lingkungan sehingga kelestarian akan
terjaga.
Arsitektur Tradisional Bali memiliki sangat banyak aturan, tatanan adat dan
filosofi agama yang mesti dipahami dan dianut oleh seorang arsitek tradisional
(arsitek Bali disebut Undagi). Karena itu, seorang Undagi pada dasamya adalah
manusia utama yang mampu memahami seni, komposisi, proporsi, teknis, rasa
ruang, filosofi agama, aturan adat (awig- wig) dan bahkan sepatutnya memahami
puja mantra karena sang Undagi juga berhak melakukan prosesi keagamaan saat
memulai pekerjaan (upacara Ngeruak Karang), masa pelaksanaan hingga peresmian
bangunan (upacara Pamelaspas). Dalam mewujudkan rancangannya, sang Undagi
dibantu oleh tenaga pelaksana yang ahli dibidangnya seperti tukang batu, kayu,
struktur dan tukang ukir yang disebut Sangging.
Jika di Bali terlihat bentuk bangunan yang beraneka ragam, hal itu disebabkan
karena fungsi, pemakai dan daerah yang berbeda. Semua aturan dan tatanan
mengenai arsitektur tradisional Bali terhimpun dalam naskah kuno berupa lontar,
antara lain: Asia Bhumi, Asia Kosala dan berbagai lontar tentang tata cara
pelaksanaan upacara pada bangunan.
Seni Rupa Bali
Seni lukis dan seni
patung maupun seni pahat atau ukiran ini terbagi dalam dua bagian, yaitu
berlanggam klasik dan modern. Langgam klasik sangat terlihat bercorak
pewayangan, baik bentuk maupun tema yang diketengahkan dalam lukisan atau
pahatan tersebut.
Lukisan gaya klasik Bali hanya terdapat di desa Kamasan,Klungkung.
Lukisan model Kamasan mengambil bentuk dan tema pewayangan dengan penggunaan
warna-warna yang cerah. Lukisan gaya Kamasan di langit-langit Bale Kertagosa
dan Taman Gii Klungkung adalah peninggalan jaman kerajaanKlungkung yang
menyodorkan tema pewayangan Mahabarata.
Masih berpegang pada langgam pewayangan, seni patung, pahat dan ukir
klasik, menunjukkan gaya yang sama dengan tampilan tiga dimensi.
Sedikit
berbeda dengan seni lukis klasik, seni pahat agak berkembang karena kebutuhan
dan cabang seni lain seperti misalnya seni tari topeng, wayang wong, dan juga
bidang arsitektur.
Pada perkembangan berikutnya, masuknya pengaruh luar pada jaman penjajahan
Belanda, muncul gaya seni lukis modern. Tidak saja tema, namun gaya coretan dan
penggunaan media pun lebih, bervariasi. Gaya Ubud, Pengosekan, KeIiki dan
Batuan adalah pelopor munculnya seni lukis gaya modern. Seniman Bali tamatan
sekolah seni, baik di Bali maupun di luar bali, memberi warna baru dalam
perkembangan seni rupa. Dan gerakan inilah, dunia seni rupa Bali mengalami
perkembangan, terutama akibat sering bersentuhan dengan pariwisata yang
menyebabkan semakin tumbuh menjamurnya sarana gallery dan toko seni sepanjang
kawasan wisata.
Seni Dari Persembahan ke Pertunjukkan
Sering dikatakan oleh para
pakar seni budaya bahwa seni dan budaya Bali cenderung diciptakan sebagai suatu
persembahan kepada maha pencipta diwarnai dengan rasa pengabdian yang tinggi
terhadap seni tersebut. Jika suatu karya seni tradisional mampu menimbulkan
getaran taksu atau memancarkan daya tarik maka hal itu bisa dipahami karena
saat menciptakannya didorong oleh keinginan untuk mempersembahkan karya yang
baik, jauh dari pikiran ego hak cipta dan nilai jual.
Karya seni dan budaya Bali pada awalnya muncul sebagai suatu
kewajiban yang patut dilaksanakan oleh kelompok profesi tertentu dalam upaya
mempersembahkan bakti yang sempurna kepada Tuhan lewat kegiatan keagamaan.
Tarian dan karawitan diciptakan untuk mengungkap ekspresi kebahagiaan menyambut
turunnya para Dewata disaat upacara di Pura, seni rupa yang diterjemahkan dalam
lukisan dan pahatan selalu tampil dalam berbagai kelengkapan sajen sebagai
media untuk menyambung komunikasi spiritual sedangkan nyanyian kidung dikumandangkan
untuk mengungkapkan puja dan puji atas kesejahteraan yang dilimpahkan oleh para
Dewata.
Manusia Bali, selain pelaku seni, juga adalah penikmat seni yang
amat fanatik pada keseniannya. Dalam seni teater, berbagai lakon yang melandasi
penciptaan seni dikemas dengan baik sehingga mudah dinikmati dan disimak untuk
mengisi wawasan berpikir mereka. Para pemimpin di maSa lalu pun sigap melihat
kegiatan seni sebagai media yang efektif untuk menyampaikan pesan-pesan kepada
rakyat. Tak ayal seni sastra berkembang pesat memberi arah tujuan yang jelas
kepada cabang seni lainnya. Karenanya, hampir di semua cabang seni, kemudian
terjadi pemilahan secara jelas antara seni sakral hingga ke profan, dan seni
persembahan ke seni pertunjukan.
Seni budaya Bali, sejak jaman sejarah, telah menjadi bagian yang
tak terpisahkan dengan keseharian masyarakat Bali. Ketika jaman kekuasaan
raja-raja amat kuat, berbagai cabang seni budaya merupakan kelangenan raja dan
keluarga istana. Saat pola pemerintahan dan kehidupan rakyat Bali semakin
mantap pada dasar filosofi agama Hindu, seni budaya Bali pun bergeser ke arah
seni persembahan.
Dalam berbagai format keseharian penduduk Bali, seni budayanya
senantiasa menandai jaman. Tak terpungkiri, pada akhrnya, seni budaya Bali
mampu meredam dan mampu tetap tumbuh dalam berbagai gejolak jaman. Pada jaman
penjajahan Belanda sekali pun, seni budaya Bali tetap tumbuh mengikuti jaman.
Arsitektur, seni rupa, seni tari, seni karawitan dan berbagai cabang seni
lainnya seolah tak luput dengan adanya perang Puputan di Badung, Klungkung dan
Margarana di Kabupaten
Tabanan.
Seni arsitektur Bali dengan ramah menenima pengaruh estetika luar. Bale
Maskerdan di Puri Karangasem,
Patra Wolanda, Patra Gina, dan Patra Kuta Mesir adalah bentuk-bentuk ornamen
luar yang secara manis diserap oleh para undagi. Seni tari, seni karawitan dan
seni rupa bahkan dikenal uleh dunia luar pada masa-masa penjajahan Belanda di
Bali.
Saat kontak dengan bangsa asing di Bali memasuki era pariwisata di
pertengahan dasa warsa 1960, secara pelan tapi pasti berbagai sarana hiburan
wisatawan mulai ditampilkan untuk kepentingan pariwisata. Seni budaya Bali pun
dikembangkan dan di redesign lagi untuk kepentingan pariwisata. Kemasan seni
pentas (tari dan karawitan), tak lagi mengacu pada pesan dan cerita yang hendak
disampaikan namun bergeser pada kemasan yang berpacu dengan waktu.
SeniTari Seni Tari di Bali benkait erat dengan prosesi
keagamaan. Bahkan layak dipercaya bahwa usia pakem tari sama tuanya dengan
penetapan tatanan agama Hindu. Dewa Ciwa yang dipercaya oleh umat Hindu sebagai
Sang Hyang Tunggal digambarkan pula sebagai. “Dewa Tari” dengan gelar Ciwa
Nataraja dalam sikap gerakan tari yang diartikan sebagai gerakan kekuatan
mengisi ruang saat menciptakan alam semesta.
Pada awalnya, tari-tarian yang ditekuni oleh para pragina (penari)
adalah jenis tarian sakral sebagai bagian tak tenpisahkan dengan prosesi
upacara dan hanya dipegelarkan tatkala diselenggarakan upacara keagamaan di
Pura. Selanjutnya tumbuh pula jenis tarian yang merupakan pelengkap suatu
prosesi keagamaan dan bahkan lebih jauh berkembang menjadi media komunikasi
masyarakat sekaligus sebagai sarana hiburan.
Dari jenis dan fungsinya; seni tari dalam anti luas berikut seni
karawitan (gamelan) yang mengiringinya dapat dipilah dalam 3 kelompok. yaitu:
1. Tari Wali (Religius)
Merupakan jenis tari berikut
karawitan yang dipentaskan sehubungan dengan dilaksanakan suatu upacara
keagamaan di suatu Pura. Tari Wali/sacral ini umumnya dipentaskan di halaman
tengah Pura (Jeroan/Purian) dan tidak akan dipentaskan pada acara-acara
lainnya. Perangkat tari sepenti busana, topeng atau juga barong sangat
dikeramatkan oleh warga penyungsungnya senta disimpan di suatu Pura sehingga
dipersyaratkan adanya upacara khusus saat diambil dari tempat penyimpanannya,
saat ditarikan serta di simpan kembali pada tempatnya.
Salah sawtu contohnya adalah Tari Topeng Sang Hyang atau Sang Hyang Topeng yang
ada di Desa Ketewel, Gianyar.
Topeng-topeng yang menggambarkan wajah wanita ini membuatnya di juluki Topeng
Widyadari. Tarian ini hanya dipentaskan setiap 6 bulan sekali oleh anak-anak
wanita saat upacara pada Budha Wage Pagerwesi. Berbeda dengan topeng pada
umumnya di Bali yang menggunakan tali pengikat di kepala saat digunakan, topeng
Sang Hyang menggunakan canggem sebagai penahan yang harus digigit oleh
penarinya harus menggunakan selembar kain ditangan kanannya untuk membantu
memperbaiki posisi topeng saat menari jika diperlukan.
Jika tari Topeng Sang Hyang ditarikan oleh anak-anak (belum
menstruasi), di Pura Samuan Tiga Bedulu-Gianyar saat
diselenggarakan upacara selalu digelar tari sutri atau tari Rejang yang
ditarikan oleh para Sutri, yaitu wanita- wanita tua yang sudah lanjut usia yang
tidak lagi mengalami menstruasi (monopouse). Dari dua contoh diatas tergambar
bahwa tari sakral tidak saja mensyaratkan tempat dan perangkat yang suci namun
juga penarinya.
2. Seni Bebali (Ceremonial)Tari Bebali
Merupakan jenis tari Bali yang
juga digelar pada suatu upacara keagamaan dan umumnya tari Bebali dipentaskan
dengan suatu lakon yang berhubungan dengan pelaksanaan upacara tersebut. Tari
Topeng Pajegan, Topeng Panca, Drama Tari Gambuh dan Wayang misalnya, adalah
jenis tari Bebali yang paling sering dipentaskan. Sebagai pengiring suatu
upacara. Tari Bebali biasanya dipentaskan di Jaba Tengah yang merupakan ruang
diantara halaman luar (Jaba Sisi) dengan halaman utama (Jeroan) suatu Pura.
3.
Ta Balih-balihan (performance) Seni Balih-balihan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar